Ada tiga jenis pembuluh darah yaitu arteri, vena dan kapiler. Arteri membawa darah dari jantung dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tubuh melalui cabang-cabangnya. Arteri yang terkecil (diameter < 0,1 mm) disebut arteriola. Persatuan antara cabang-cabang arteri disebut anastomosis.1
End artery anatomic yang cabang-cabang terminalnya tidak beranastomosis dengan cabang-cabang arteri yang mendarahi daerah yang berdekatan. End artery fungsional adalah pembuluh darah yang cabang-cabangnya beranatomosis dengan cabang-cabang terminal arteri yang ada di dekatnya, tetapi besarnya anatomosis tidak cukup untuk mempertahankan jaringan tetap hidup bila salah satu arteri tersumbat.1
Vena adalah pembuluh yang membawa darah kembali ke jantung, banyak diantaranya mempunyai katup. Vena terkecil disebut venula. Vena yang lebih besar atau muara-muaranya, bergabung membentuk vena yang lebih besar dan biasanya membentuk hubungan satu dengan yang lain menjadi plexus venosus. Arteri propunda yang berukuran sedang sering diikuti oleh dua buah vena, masing-masing berjalan di sisinya disebut venae comitantes. Vena yang keluar dari trachtus gastrointestinal tidak langsung menuju ke jantung tetapi bersatu membentuk vena porta. Vena ini masuk ke hati dan kembali bercabang-cabang menjadi vena yang ukurannya lebih kecil dan akhirnya bersatu dengan pembuluh menyerupai kapiler di dalam hati yang disebut sinusoid. Sistem portal adalah sistem pembuluh yang terletak diantara dua jejari kapiler.1
Kapiler adalah pembuluh yang sangat kecil dan berbentuk anyaman yang menghubungkan arteriola dengan venula.1
Anastomosis portal-sistemik
Oeshophagus mempunyai tiga buah penyempitan anatomis dan fisiologis. Yang pertama di tempat faring bersatu dengan ujung atas oeshopagus, yang kedua di tempat arcus aorta dan bronkus sinister menyilang permukaan anterior oeshophagus dan yang ketiga terdapat di tempat oeshopagus melewati diaphragma untuk masuk kegaster. Penyempitan-penyempitan ini sangat penting dalam klinik karena merupakan tempat benda asing yang tertelan tertambat atau alat esofagoskop sulit dilewatkan. Karena jalannya makanan atau minuman lebih lambat pada tempat-tempat ini, maka dapat timbul striktura atau penyempitan di daerah ini setelah meminum cairan yang mudah terbakar dan kororsif atau kaustik. Penyempitan ini juga merupakan tempat yang lazim untuk kanker oeshopagus.5
Dalam keadaan normal, darah di dalam vena portae hepatis melewati hati dan masuk ke vena cava inferior, yang merupakan sirkulasi vena sistemik melalui venae hepaticae. Rute ini merupakan jalan langsung. Akan tetapi, selain itu terdapat hubungan yang lebih kecil di antara sistem portal dan sistem sistemik, dan hubungan ini menjadi penting bila hubungan langsung terhambat.5
Hubungan-hubungan tersebut sebagai berikut :
1. Pada sepertiga bawah oeshophagus, rami oeshophagei vena gastrica sinistra (cabang portal) beranastomosis dengan venae oesophageales yang mengalirkan darah dari sepertiga tengah oeshopagus ke vena azygos (cabang sistemik).5
2. Pada pertangaan atas canalis analis, vena rectalis superior (cabang portal) yang mengalirkan darah dari setengah bagian atas canalis analis dan beranastomosis dengan vena rectalis media dan vena rectalis inferior (cabang sistemik), yang masing-masing merupakan cabang vena iliaca interna dan vena pudenda interna.5
3. Vanae paraumbilicales menghubungkan ramus sinistra vena portae hepatis dan venae superficiales dinding anterior abdomen (cabang sistemik). Venae para umbilicales berjalan di dalam ligamentum falciforme dan ligamentum teres hepatis.5
4. Vena-vena colon ascendens, colon descendens, duodenum, pancreas, dan hepar (cabang portal) beranastomosis dengan vena renalis, vena lumbalis, dan venae phrenicae (cabang sistemik).5
Sirkulasi portal di mulai dari vena-vena yang berasal dari lambung, usus, limpa dan pankreas, vena porta, hepar, vena hepatika, dan vena cava. Vena-vena yang membentuk sistem portal adalah vena porta, vena mesenterika superior dan inferior, vena splanikus dan cabang-cabangnya. Vena porta sendiri dibentuk dari gabungan vena splanikus dan vena mesenterika superior.
.
Gambar 1. Anatomi vena porta (dikutip dari (2)
(a) Vena porta
(b) Vena mesenterika superior
(c) Vena splanikus
(d) Vena mesenterika inferior
(e) Vena gastro-epiploika dekstra
(f) Vena gastro-epiploika sinistra
(g) Vena gastrika brevis
(h) Vena gastrika dekstra
(i) Vena gastrika sinistra
(j) Venapankreatiko-duodenale
(k) Vena kistika
(l) Cabang kanan vena porta
(m) Cabang kici vena porta
(CDK, 2000).
Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas, dan kandung empedu. Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usus halus, kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena hepatika yang selanjutnya ke vena kava inferior (CDK, 2000)
Vena porta terbentuk dari lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan 70% sebab beberapa O2 telah diambil oleh limfe dan usus, guna darah ini membawa zat makanan ke hati yang telah di observasi oleh mukosa dan usus halus. Besarnya kira-kira berdiameter 1 mm. Yang satu dengan yang lain terpisah oleh jaringan ikat yang membuat cabang pembuluh darah ke hati, cabang vena porta arteri hepatika dan saluran empedu dibungkus bersama oleh sebuah balutan dan membentuk saluran porta.
Darah berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hati dan setiap lobulus disaluri oleh sebuah pembuluh Sinusoid darah atau kapiler hepatika. Pembuluh darah halus berjalan di antara lobulus hati disebut Vena interlobuler. Dari sisi cabang-cabang kapiler masuk ke dalam bahan lobulus yaitu Vena lobuler. Pembuluh darah ini mengalirkan darah dalam vena lain yang disebut vena sublobuler, yang satu sama lain membentuk vena hepatika dan langsung masuk ke dalam vena kava inferior.
Empedu dibentuk di dalam sela-sela kecil di dalam sel hepar melalui kapiler empedu yang halus/korekuli. Dengan cara berkontraksi, dinding perut berotot pada saluran ini mengeluarkan empedu dari hati.
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta dan peningkatan resistensi vena portal (1). Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg (2). Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik) (CDK, 2000).
Diagnosis hipertensi portal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, endoskopi, pencitraan, biopsi hati dan pengukuran tekanan vena porta. Usaha penyelamat hidup seperti tindakan pembedahan endoskopik atau pemberian obat-obatan terus berkembang. Untuk dapat mengelola dengan baik, diagnosis yang tepat merupakan syarat mutlak (CDK, 2000).
Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis. Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal. Disebut hipertensi portal bila tekanan portal lebih dari 15 mmHg (USU, 2000).
Hipertensi portal dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik, dan supra hepatik. Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab 50-70% hipertensi portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui, sedangkan obs-truksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang tidak mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya.
Friday, January 2, 2009
Jerawat dan Hormon
Jerawat atau acne vulgaris merupakan penyakit kulit yang umum terjadi (a common skin disease) dan memengaruhi 85-100% orang pada suatu saat selama hidupnya. Cirinya berupa papula folikuler noninflamasi (noninflammatory follicular papules) atau komedo (comedones) dan nodul, pustula, dan papula radang dalam bentuk yang lebih berat. Acne vulgaris memengaruhi daerah kulit yang memiliki banyak folikel sebaceous (kelenjar minyak), seperti wajah, dada bagian atas, dan punggung. Sebenarnya ada beberapa bentuk acne (jerawat), misalnya Acne Conglobata, Acne Fulminans, Acne Keloidalis Nuchae, dan Acneiform Eruptions.
Jerawat mempunyai suatu kondisi abnormal pada kulit yang diakibatkan oleh gangguan produksi kelenjar minyak (sebaceous gland) yang berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada saluran folikel rambut dan pori-pori kulit. Peradangan pada kulit terjadi apabila kelenjar minyak memproduksi sebum (minyak kulit) secara berlebihan sehingga terjadi penyumbatan pada saluran kelenjar minyak dan pembentukan komedo (whiteheads), serta seborhoea. Pada saat sumbatan membesar, komedo akan terbuka (blackheads) sehingga terjadi interaksi dengan bakteri jerawat.
Acne vulgaris dapat muncul pada minggu-minggu dan bulan-bulan pertama kehidupan saat bayi baru lahir (newborn) masih dipengaruhi oleh hormon ibunya dan saat androgen-producing portion dari kelenjar adrenal tak sebanding kadarnya. Jerawat di masa bayi ini (neonatal acne) dapat menghilang secara spontan. Jerawat di masa remaja biasanya muncul di masa pubertas, saat kelenjar adrenal mulai memproduksi dan melepaskan lebih banyak hormon androgen. Jerawat tidak terbatas hanya pada usia remaja. Dua belas persen wanita dan lima persen pria pada usia 25 tahun memiliki problem jerawat. Setelah usia 45 tahun, sejumlah 5% baik pria maupun wanita masih memiliki problem jerawat. Menurut Wolff K., dkk (2007), akne umumnya terjadi pada usia pubertas 10 hingga 17 tahun pada wanita, 14 hingga 19 tahun pada pria. Dapat juga muncul pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun.
Terdapat empat faktor utama yang bertanggung jawab pada perkembangan lesi akne yaitu hperproliferasi epidermis folikuler dengan subsequent plugging of the follicle ; kelebihan sebum (sekresi minyak dari kelenjar sebaceous; dengan keringat/perspiration, sebum membasahi atau melembabkan dan melindungi kulit); keberadaan dan aktivitas dari Propionibacterium acnes; Proses radang (inflammation).
Follicular epidermal hyperproliferation adalah peristiwa yang pertama kali dikenal di dalam perkembangan akne. Penyebab yang mendasari (underlying cause) terjadinya hiperproliferasi ini belum diketahui. Sampai sekarang, ada tiga hipotesis yang dipertimbangkan untuk menjelaskan mengapa epitel folikuler menjadi hyperproliferative pada orang yang berjerawat.
Pertama, hormon androgen terkait sebagai pemicu awal (initial trigger). Komedo, lesi klinis sebagai hasil dari follicular plugging, mulai muncul sekitar adrenarche pada orang yang berjerawat. Derajat akne komedo pada wanita sebelum masa pubertas (prepubertal) berhubungan dengan kadar adrenal androgen dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) yang bersikulasi. Tambahan pula, reseptor hormon androgen ada di bagian atau komponen folikel dimana komedo terbentuk; seseorang dengan reseptor androgen yang tidak berfungsi (malfunctioning) tidak akan muncul jerawatnya.
Kedua, perubahan komposisi lemak juga berperan dalam perkembangan jerawat. Orang yang berjerawat seringkali memiliki produksi sebum yang berlebihan dan kulit yang berminyak. Sebum yang berlebihan ini dapat mendilusi (mengencerkan) lemak epidermis yang normal sehingga dapat mengubah konsentrasi relatif dari berbagai lemak. Kadar asam linoleat (linoleic acid) terbukti rendah pada orang yang berjerawat, dan, menariknya, kadar ini menjadi normal setelah pemberian isotretinoin yang sukses. Penurunan relatif asam linoleat ini dapat menginisiasi (memicu) pembentukan komedo.
Ketiga, proses radang (inflammation) merupakan salah satu faktor yang dipercaya terlibat di dalam pembentukan komedo. Interleukin (IL)–1–alpha merupakan proinflammatory cytokine, yang digunakan pada contoh jaringan (tissue model) untuk menginduksi (memicu) follicular epidermal hyperproliferation dan pembentukan komedo. Meskipun proses radang tidak nyata secara mikroskopis atau klinis pada lesi awal jerawat, namun tetap memegang peranan yang sangat penting di dalam perkembangan acne vulgaris dan komedo (comedones).
Kelebihan sebum merupakan faktor penting lainnya di dalam perkembangan acne vulgaris. Ekskresi (pengeluaran) dan produksi sebum diatur oleh sejumlah hormon dan mediator yang berbeda. Hormon androgen, dalam keadaan tertentu, menaikkan produksi dan pengeluaran/pelepasan sebum.
Sebagian besar pria dan wanita dengan jerawat memiliki hormon androgen yang bersirkulasi dalam tubuh dengan kadar normal. Suatu end-organ hyperresponsiveness terhadap hormon androgen telah dipercaya sebagai hipotesis (hypothesized). Hormon androgen bukanlah satu-satunya regulator dari kelenjar sebaceous manusia. Banyak agen-agen lainnya, termasuk hormon pertumbuhan dan insulinlike growth factor, juga mengatur (regulate) kelenjar sebaceous dan juga berkontribusi pada perkembangan jerawat. P. acnes merupakan suatu organisme microaerophilic yang terdapat di banyak lesi jerawat. Meskipun, belum terbukti keberadaannya di lesi jerawat yang paling awal terjadi, microcomedo, keberadaannya pada lesi-lesi kemudian hampir dapat dipastikan. Keberadaan P. acnes menaikkan (promote) proses radang melalui berbagai mekanisme. P.acnes menstimulasi (merangsang) terjadinya radang dengan memproduksi mediator-mediator proinflammatory yang menyebar melalui dinding folikel.
Riset terbaru menunjukkan bahwa P.acnes mengaktifkan toll-like receptor 2 pada monosit dan neutrofil. Aktivasi toll-like receptor 2 kemudian memacu produksi multiple proinflammatory cytokines, termasuk IL-12, IL-8, dan tumor necrosis factor. Hipersensitivitas terhadap P acnes dapat juga menjelaskan mengapa beberapa orang mengalami jerawat disertai peradangan (inflammatory acne vulgaris) sementara yang lainnya tidak.
Peradangan dapat merupakan suatu fenomena primer atau sekunder. Sebagian besar bukti hingga kini menyarankan suatu respon peradangan sekunder terhadap P.acnes sebagaimana telah disebutkan di atas. Bagaimanapun juga, ekspresi IL-1-alpha telah teridentifikasi pada microcomedone, dan dapat berperan pada perkembangan jerawat.
Untuk mencegah timbulnya jerawat dapat dilakukan diet rendah lemak dan karbohidrat. Melakukan perawatan kulit (tidak hanya wajah) secara rutin dan teratur, misalnya teratur mencuci muka setelah pulang daribepergian. Hidup teratur dan seimbang, cukup istirahat, cukup olahraga,hindari stres. Penggunaan kosmetika secukupnya dan sewajarnya (baik jumlah/banyaknya dan lamanya). Menghindari polusi, debu, asap (rokok, pabrik, kendaraan bermotor, dll.), rokok, minuman keras, semua yang bercitarasa pedas, pemencetan jerawat yang dilakukan oleh bukan ahlinya. Mengetahui dan memahami informasi tentang jerawat dari berbagai literatur.
Jerawat mempunyai suatu kondisi abnormal pada kulit yang diakibatkan oleh gangguan produksi kelenjar minyak (sebaceous gland) yang berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada saluran folikel rambut dan pori-pori kulit. Peradangan pada kulit terjadi apabila kelenjar minyak memproduksi sebum (minyak kulit) secara berlebihan sehingga terjadi penyumbatan pada saluran kelenjar minyak dan pembentukan komedo (whiteheads), serta seborhoea. Pada saat sumbatan membesar, komedo akan terbuka (blackheads) sehingga terjadi interaksi dengan bakteri jerawat.
Acne vulgaris dapat muncul pada minggu-minggu dan bulan-bulan pertama kehidupan saat bayi baru lahir (newborn) masih dipengaruhi oleh hormon ibunya dan saat androgen-producing portion dari kelenjar adrenal tak sebanding kadarnya. Jerawat di masa bayi ini (neonatal acne) dapat menghilang secara spontan. Jerawat di masa remaja biasanya muncul di masa pubertas, saat kelenjar adrenal mulai memproduksi dan melepaskan lebih banyak hormon androgen. Jerawat tidak terbatas hanya pada usia remaja. Dua belas persen wanita dan lima persen pria pada usia 25 tahun memiliki problem jerawat. Setelah usia 45 tahun, sejumlah 5% baik pria maupun wanita masih memiliki problem jerawat. Menurut Wolff K., dkk (2007), akne umumnya terjadi pada usia pubertas 10 hingga 17 tahun pada wanita, 14 hingga 19 tahun pada pria. Dapat juga muncul pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun.
Terdapat empat faktor utama yang bertanggung jawab pada perkembangan lesi akne yaitu hperproliferasi epidermis folikuler dengan subsequent plugging of the follicle ; kelebihan sebum (sekresi minyak dari kelenjar sebaceous; dengan keringat/perspiration, sebum membasahi atau melembabkan dan melindungi kulit); keberadaan dan aktivitas dari Propionibacterium acnes; Proses radang (inflammation).
Pertama, hormon androgen terkait sebagai pemicu awal (initial trigger). Komedo, lesi klinis sebagai hasil dari follicular plugging, mulai muncul sekitar adrenarche pada orang yang berjerawat. Derajat akne komedo pada wanita sebelum masa pubertas (prepubertal) berhubungan dengan kadar adrenal androgen dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) yang bersikulasi. Tambahan pula, reseptor hormon androgen ada di bagian atau komponen folikel dimana komedo terbentuk; seseorang dengan reseptor androgen yang tidak berfungsi (malfunctioning) tidak akan muncul jerawatnya.
Kedua, perubahan komposisi lemak juga berperan dalam perkembangan jerawat. Orang yang berjerawat seringkali memiliki produksi sebum yang berlebihan dan kulit yang berminyak. Sebum yang berlebihan ini dapat mendilusi (mengencerkan) lemak epidermis yang normal sehingga dapat mengubah konsentrasi relatif dari berbagai lemak. Kadar asam linoleat (linoleic acid) terbukti rendah pada orang yang berjerawat, dan, menariknya, kadar ini menjadi normal setelah pemberian isotretinoin yang sukses. Penurunan relatif asam linoleat ini dapat menginisiasi (memicu) pembentukan komedo.
Ketiga, proses radang (inflammation) merupakan salah satu faktor yang dipercaya terlibat di dalam pembentukan komedo. Interleukin (IL)–1–alpha merupakan proinflammatory cytokine, yang digunakan pada contoh jaringan (tissue model) untuk menginduksi (memicu) follicular epidermal hyperproliferation dan pembentukan komedo. Meskipun proses radang tidak nyata secara mikroskopis atau klinis pada lesi awal jerawat, namun tetap memegang peranan yang sangat penting di dalam perkembangan acne vulgaris dan komedo (comedones).
Kelebihan sebum merupakan faktor penting lainnya di dalam perkembangan acne vulgaris. Ekskresi (pengeluaran) dan produksi sebum diatur oleh sejumlah hormon dan mediator yang berbeda. Hormon androgen, dalam keadaan tertentu, menaikkan produksi dan pengeluaran/pelepasan sebum.
Sebagian besar pria dan wanita dengan jerawat memiliki hormon androgen yang bersirkulasi dalam tubuh dengan kadar normal. Suatu end-organ hyperresponsiveness terhadap hormon androgen telah dipercaya sebagai hipotesis (hypothesized). Hormon androgen bukanlah satu-satunya regulator dari kelenjar sebaceous manusia. Banyak agen-agen lainnya, termasuk hormon pertumbuhan dan insulinlike growth factor, juga mengatur (regulate) kelenjar sebaceous dan juga berkontribusi pada perkembangan jerawat. P. acnes merupakan suatu organisme microaerophilic yang terdapat di banyak lesi jerawat. Meskipun, belum terbukti keberadaannya di lesi jerawat yang paling awal terjadi, microcomedo, keberadaannya pada lesi-lesi kemudian hampir dapat dipastikan. Keberadaan P. acnes menaikkan (promote) proses radang melalui berbagai mekanisme. P.acnes menstimulasi (merangsang) terjadinya radang dengan memproduksi mediator-mediator proinflammatory yang menyebar melalui dinding folikel.
Riset terbaru menunjukkan bahwa P.acnes mengaktifkan toll-like receptor 2 pada monosit dan neutrofil. Aktivasi toll-like receptor 2 kemudian memacu produksi multiple proinflammatory cytokines, termasuk IL-12, IL-8, dan tumor necrosis factor. Hipersensitivitas terhadap P acnes dapat juga menjelaskan mengapa beberapa orang mengalami jerawat disertai peradangan (inflammatory acne vulgaris) sementara yang lainnya tidak.
Peradangan dapat merupakan suatu fenomena primer atau sekunder. Sebagian besar bukti hingga kini menyarankan suatu respon peradangan sekunder terhadap P.acnes sebagaimana telah disebutkan di atas. Bagaimanapun juga, ekspresi IL-1-alpha telah teridentifikasi pada microcomedone, dan dapat berperan pada perkembangan jerawat.
Untuk mencegah timbulnya jerawat dapat dilakukan diet rendah lemak dan karbohidrat. Melakukan perawatan kulit (tidak hanya wajah) secara rutin dan teratur, misalnya teratur mencuci muka setelah pulang daribepergian. Hidup teratur dan seimbang, cukup istirahat, cukup olahraga,hindari stres. Penggunaan kosmetika secukupnya dan sewajarnya (baik jumlah/banyaknya dan lamanya). Menghindari polusi, debu, asap (rokok, pabrik, kendaraan bermotor, dll.), rokok, minuman keras, semua yang bercitarasa pedas, pemencetan jerawat yang dilakukan oleh bukan ahlinya. Mengetahui dan memahami informasi tentang jerawat dari berbagai literatur.
Subscribe to:
Posts (Atom)